TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan dari National Research Nuclear University atau Moscow Engineering Physics Institute mengembangkan perangkat lunak asisten komposer virtual, yang mampu menganalisis kondisi emosi para komposer.
Menurut ilmuwan dari MEPhI Institute of Cyber Intelligence Systems Alexei Samsonovich mengatakan bahwa perangkat lunak tersebut berbeda dari perkembangan yang sudah ada. Karena, kata dia, asisten virtual dapat mempertahankan kontak emosional dengan komposer
"Kebanyakan program semacam itu mewakili jaringan saraf yang diajarkan untuk menulis musik atau membuat karya seni," ujar Samsonovich, sebagaimana dilansir laman Phys 11 Juni 2018. "Tapi gagasan kami adalah untuk mengidentifikasi keadaan emosional komposer dan mengikuti logikanya".
Baca juga: Ilmuwan Temukan Puluhan Gempa Tersembunyi di Bawah Es Antartika
Terlepas dari tingginya tingkat perkembangan teori musik, proses penciptaan musik masih sulit untuk dilakukan secara formal, karena tidak dapat dipisahkan dengan pengalaman emosional dari komposer. Aspek proses kreatif ini sangat menarik bagi para ahli di bidang kecerdasan mesin.
Para ilmuwan dapat menciptakan sinergi antara manusia dan perangkat lunak. Dengan menggunakan perangkat lunak, data tentang keadaan emosional dan niat dari pencipta dapat dikumpulkan. Asisten komposer virtual merupakan perangkat lunak yang dapat menciptakan musik berkualitas tinggi dengan kualitas estetika manusia.
"Ini adalah asisten cerdas kreatif yang dapat ditambahkan ke melodi yang ditulis oleh komposer, catatan, chord dan kombinasinya sendiri," kata dia.
Baca juga: Ilmuwan Temukan Salah Satu Penyebab Kiamat Bumi, Apa Itu?
Untuk mencapai tujuan ini, peneliti harus menganalisis teori musik dengan mengidentifikasi suara musik, akord dan kombinasinya. Hal itu akan membuat peta semantik berdasarkan analisis dan menghubungkannya dengan model persepsi emosi manusia terhadap musik.
Menurut Samsonovich, metode tersebut didasarkan pada penggunaan peta semantik bukan jaringan saraf. Dalam peta semantik, keadaan emosi pikiran seseorang diwakili oleh titik di ruang afektif. Di ruang itu, kata Samsonovich, hukum harmoni dan irama musik memberlakukan batasan tertentu pada proses itu.
"Namun, masih ada keterbatasannya, karena nanti akan meninggalkan kebebasan untuk berkreativitas," tambah dia. "Karena ini termasuk kebebasan yang digunakan perangkat lunak, dipandu oleh peta semantik dan aturan untuk memilih koordinat di atasnya, serta dengan mempertimbangkan evolusi keadaan emosi".
Baca juga: Buku Harian Ungkap Albert Einstein Rasis ke Orang Cina
Samsonovich ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak berbicara tentang pembelajaran mesin. Karena menurutnya, model didasarkan pada prinsip-prinsip psikologi atau aspek perilaku psikologis dasar. Maksudnya tidak seperti jaringan saraf dan model seperti ini dapat menjelaskan esensi dari fenomena kreativitas.
Samsonovich juga menambahkan bahwa pendekatan dalam bidang penelitian ini didasarkan pada arsitektur kognitif, yang dibuat menggunakan data psikologi dan neurosains atau Biologicalically Inspired Cognitive Architecture (BICA). Menurut International Information Agency Rusia Today, hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Science Computer Procedia.
Para peneliti percaya bahwa perkembangan baru dapat ditingkatkan dan digunakan tidak hanya dalam musik. Namun juga di banyak bidang kreativitas digital, serta dalam sistem manusia-mesin. "Karena menciptakan dan mengimplementasikan inovasi semacam itu merupakan langkah penting mempelajari aspek sosio-emosional kecerdasan, yang bertanggung jawab," kata dia.
Baca juga: Prediksi Ilmuwan: 2045, Robot Diberi Hak Sama seperti Manusia
Simak hasil riset dari ilmuwan lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
PHSY.ORG | INTERNATIONAL INFORMATION AGENCY RUSIA TODAY | JOURNAL SCIENCE COMPUTER PROCEDIA